Menurut Rh Fitriadi, novel yang digarapnya dalam tempo lima bulan dan melalui masa riset selama setahun itu bukanlah novel politik. “Novel ini berbicara tentang perasaan. Saya ingin menulis tentang perasan mereka yang menjadi korban dan terlibat konflik di Aceh. Baik itu perasaan mereka yang membenci NKRI, membenci referendum, atau membenci Aceh,” kata Rh Fitriadi, Minggu (8/1).
Ia sama sekali tidak bermaksud membuka luka lama di hati masyarakat Aceh. “Saya malah ingin memberi pesan sudah cukup konflik di Aceh, konflik hanya akan mengorbankan banyak orang. Novel ini bisa menjadi pengingat bahwa air mata, darah, dan nyata tidak pantas jatuh lagi di Aceh,” imbuh pengarang yang telah menghasilkan dua novel lainnya yaitu The Gate of Heaven (2010) dan The Messiah Project (2011).
Sementara Muhammad Nazar memberi pendapat, novel ini mampu menggabungkan alur dan kisah konflik yang selama ini dianggap tabu untuk diceritakan, bahkan oleh masyarakat Aceh sendiri. “Novel ini bercerita tentang aktivisme dan perjuangan Aceh mendapatkan perdamaian. Menjelaskan banyak hal khususnya tentang kesedihan yang mewakili setiap hati masyarakat Aceh yang terlibat konflik,” ujar Nazar yang hadir bersama istri, Dewi Meuthia, dan ikut menceritakan pengalamannya di masa konflik.
Novel ini oleh pengarang terkenal Indonesia, Darwis, dianggap layak untuk diangkat menjadi sebuah film. “Marwah di Ujung Bara ditulis dengan riset yang sangat baik. Pengarangnya menghadirkan porsi yang sangat seimbang, netral. Semua tokoh berada dalam proporsi yang tepat. Yang terpenting novel ini tidak diisi dengan kebencian. Dan novel ini sangat layak untuk difilmkan,” kata pengarang yang novelnya berjudul Hafalan Shalat Delisa sudah difilmkan.(SI-aceh)
(bilal/arrahmah)
Read more: http://arrahmah.com/read/2012/01/11/17345-novel-sejarah-konflik-aceh-diluncurkan.html#ixzz1j7usX01z
EmoticonEmoticon