Kita tentu masih ingat kasus Mesuji yang langsung mendapat perhatian nasional serta penanganan berupa pembentukan tim pencari fakta. Beberapa hari berikutnya, muncul juga kasus penembakan oleh polisi terhadap dua orang pemrotes yang menduduki pelabuhan Sape, di Bima, Nusa Tenggara Barat. Dalam peristiwa tersebut, selain dua orang tewas, terdapat 31 korban luka-luka.
Di Riau, warga Pulau Padang melakukan aksi jahit mulut di DPRD Riau sebagai aksi protes terhadap aksi intimidasi menjelang dibukanya hutan tanaman industri oleh perusahaan besar PT Riau Andalan Pulp and Paper di wilayah mereka. Kasus ini juga terjadi pada Desember 2011.
Pada bulan yang sama juga, Mahkamah Agung membatalkan status Taman Nasional untuk Batang Gadis, Sumatera Utara. Status Taman Nasional Batang Gadis gugur akibat uji materi yang diajukan oleh PT Sorik Mining--perusahaan pertambangan patungan antara PT Aneka Tambang dengan Australia.
Dengan beberapa kasus ini, tentu wajar jika kita bertanya, di mana perlindungan yang dijanjikan oleh Presiden tersebut?
Memang, hutan-hutan di Indonesia punya kategori penggunaan yang berbeda-beda. Ada yang tak boleh disentuh, ada yang boleh dikelola untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Tetapi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL/Pusat Hukum Lingkungan Indonesia) melihat contoh-contoh kasus tersebut sebagai penanda bahwa pemerintah kita tak serius dengan perlindungan hutan.
"Masyarakat kita dikungkung oleh ketidaktahuan akan investasi kehutanan di Indonesia," kata Direktur Eksekutif ICEL Henri Subagiyo di Jakarta, Kamis (29/11).
Selain transparansi dari soal pemberian izin pengelolaan hutan, ICEL juga menilai pemerintah belum mengakui bahwa lingkungan punya daya dukung yang terbatas. Sebagai contoh, sekitar 65% wilayah Kota Samarinda di Kalimantan Timur sudah diberikan untuk izin pengelolaan pertambangan.
Data itu diperoleh dari Dinas Pertambangan Kota Samarinda. Sementara data Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur malah menemukan 70,66% wilayah Kota Samarinda akan digunakan untuk usaha pertambangan. Itu baru pertambangan, belum lagi untuk perkebunan atau permukiman.
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum sudah pernah merilis data pelanggaran izin pemanfaatan hutan untuk pertambangan dan perkebunan. Di Kalimantan Tengah saja, ada 606 unit tambang (68%) serta 285 unit perkebunan (32%) dengan izin bermasalah. Jumlah lahan yang bermasalah tersebut mencapai 3,67 juta hektar untuk pertambangan dan 3,8 juta hektar untuk perkebunan.
Untuk mempercepat penanganan kasus, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum menginstruksikan agar Kementerian Kehutanan memprioritaskan 63 izin bermasalah, terdiri atas 54 perkebunan kelapa sawit dan 9 pertambangan. Lahan seluas 855 ribu hektar ini diprioritaskan karena cakupannya yang sangat luas.
Perusahaan pemilik izin juga sudah jelas melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan konservasi tinggi. Ternyata, sampai sekarang, Kementerian Kehutanan pun belum melakukan apa-apa terhadap 63 izin ini. Sanksi pidana terhadap pejabat negara yang memberi izin pun tidak ada.
Kadang memang Kementerian bisa berdalih bahwa wewenang pengelolaan hutan ada di tingkat daerah, tapi, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sudah memastikan bahwa kawasan hutan untuk 63 izin ini berada di bawah pengelolaan Kementerian Kehutanan. Sehingga seharusnya Kementerian tak bisa lagi berdalih.
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Durban pada akhir November lalu, pemerintah Indonesia bolak-balik memamerkan pada dunia internasional bahwa Kalimantan Tengah siap menjadi wilayah percontohan pelaksanaan REDD+.
Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan sekaligus Kepala Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto juga menyatakan bahwa Kalimantan Tengah akan menjadi semacam laboratorium untuk pembangunan ekonomi Indonesia selanjutnya.
Pembangunan ekonomi Indonesia ke depan, menurut Kuntoro, harus menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Dan Kalimantan Tengahlah yang akan jadi pionirnya untuk menentukan bagaimana keseimbangan itu bisa diraih.
Hanya saja, ICEL menemukan bahwa meski komitmen-komitmen serta status wilayah percontohan REDD+ itu sudah disematkan di Kalimantan Tengah dan diakui dunia sejak 2009, tetap saja izin-izin pengelolaan hutan untuk pertambangan dan perkebunan masih tetap keluar di tingkat bupati. Dan tidak ada sanksi pula atas pejabat yang memberi izin tersebut.
Masih ada daerah-daerah selain Kalimantan Tengah yang, menurut ICEL, memiliki tingkat keruwetan sama dari segi pemberian izin kelola hutan, yaitu Riau dan Papua.
Selain itu, ICEL juga belum melihat adanya penegakan hukum yang berarti dari pelanggaran-pelanggaran peraturan lingkungan ini. Dari pengkajian ulang izin-izin pengelolaan hutan yang sudah dikeluarkan, Satgas Mafia Hukum sudah menemukan berbagai macam pelanggaran dengan bukti jelas. Itu pun belum ditindaklanjuti. "Jika masalah perizinannya ada di tata ruang, maka pejabat yang memberi izin seharusnya bisa kena," kata Henri.
Dia juga berharap 2012 menjadi awal diberlakukannya terapi kejut, bahwa bukan hanya pengusaha penyalahguna izin yang bisa kena hukuman, tapi juga pejabat pemberi izin.
ICEL mengindikasikan perizinan sebagai sektor yang paling rawan korupsi dengan nilai kerugian yang jauh lebih fantastis daripada korupsi pengadaan barang dan jasa di APBN.
"Masyarakat kan kangen dengan penegakan hukum di kasus pencemaran lingkungan misalnya. Mungkin bukan kangen juga sih, tapi memang tidak pernah terjadi (penegakan hukum di bidang lingkungan itu)," tambah Henri.
Selain itu, kerusakan lingkungan akibat tambang batubara pun belum bisa dibendung karena izinnya yang sangat mudah. Menurut Dyah Paramita, peneliti ICEL untuk pertambangan, untuk mendapat izin membuka tambang, hanya butuh modal Rp 50 juta. Status perusahaannya pun tak butuh PT yang pemodalannya ratusan juta, cukup CV yang didaftarkan pada notaris dan dengan dua nama terdaftar di bawahnya.
CV yang akan meminta izin ini juga tak perlu melampirkan pengetahuan khusus di bidang pertambangan. "Padahal untuk membuka tambang kan perlu pengetahuan teknik menggali, teknik reklamasi (perbaikan lahan sesudah menambang). Syarat awalnya saja sudah sangat longgar. Dan standar-standar ini tidak ditingkatkan," kata Dyah.
Dengan berbagai kemudahan izin yang diberikan pada investor yang merusak lingkungan, ketiadaan penegakan hukum yang berpihak pada hutan, serta minimnya informasi yang diberikan pada warga, sangat mungkin tren konflik lahan seperti yang terjadi pada akhir 2011 ini akan makin sering terjadi di 2012.
Apakah kita bisa menerima munculnya konflik-konflik Mesuji lainnya?
EmoticonEmoticon